Sejarah Jalur Daendels: Semacam Jalan Tol di Era Hindia Belanda
Pembangunan Jalan Daendels pada 1808 menelan ribuan korban nyawa dari rakyat yang dipekerjakan paksa. Sejarah mencatat, tepat 210 tahun yang lalu, telah dibangun jalan raya sepanjang lebih dari 1.000 km dari Anyer sampai Panarukan di era Hindia Belanda. Penggagasnya adalah Gubernur Jenderal atau semacam presiden alias pemimpin pemerintahan kala itu, Herman Willem Daendels. Dikutip dari buku Colonial Exploitation and Economic Development (2013) suntingan Ewout Frankema dan kawan-kawan, jalur panjang yang semula dinamakan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) itu dibangun Daendels pada awal masa kepemimpinannya di Hindia Belanda, yakni pada 1808. Sebagai catatan, kala itu negeri Belanda dan seluruh koloninya, termasuk Hindia (Indonesia), berada di bawah penguasaan Perancis. Napoleon Bonaparte menaklukkan Belanda sejak 1795. Daendels, perwira Belanda yang terkenal cakap dan simpatisan Perancis, ditunjuk untuk memimpin pemerintahan di Hindia. Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808. M. Junaedi Al Anshori dalam buku Sejarah Nasional Indonesia (2011) mengungkapkan, ia ditetapkan sebagai Gubernur Jenderal untuk memperkuat pertahanan Belanda di Jawa dalam rangka menghadapi Inggris yang berpusat di India. Jalan Raya Pos merupakan salah satu gebrakan awal Daendels di Hindia. Jalan panjang ini menghubungkan bagian barat sampai timur Pulau Jawa menyusuri pesisir utara. Meskipun begitu, masih menjadi perdebatan apakah jalur ini benar-benar dibangun dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Situbondo) seluruhnya pada era Daendels. Proyek ambisius Daendels ini pastinya melibatkan tenaga yang tidak sedikit. Dan, para pekerjanya tentu saja dikerahkan dari kaum pribumi atau rakyat Hindia Belanda yang dipekerjakan secara paksa tanpa diberi upah. Seperti ditulis Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa (2014), pembangunan Jalan Daendels menelan belasan ribu korban jiwa dari rakyat yang dipekerjakan secara paksa itu.
Tangan besi Daendels membuat megaproyek ini dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sebelum sang gubernur jenderal lengser pada 1811, jalur panjang di pesisir utara Jawa ini sudah diresmikan dan dapat digunakan. Jalan hasil kebijakan Daendels ini sekarang dikenal dengan nama Jalur Pantura (Pantai Utara) yang hingga kini menjadi salah satu jalur transportasi terpenting dan paling ramai di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.
Latar belakang Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan dibuka pada masa pemerintahan Daendels, sebagai usaha untuk mempertahankan ekonomi dan militer Pulau Jawa. Hal itu ditujukan guna mempercepat mobilisasi militer dari ujung barat Pulau Jawa hingga ujung timur. Kepentingan militer itu untuk membendung Inggris, yang diwaspadai akan menyerang Pulau Jawa. Selain adanya motif militer, tujuan pembangunan Jalan Raya Pos juga berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Daendels berkeinginan dengan pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan, diharapkan membantu penduduk mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah maupun pelabuhan.
Proses pembangunan
Proses pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan menggunakan sistem kerja paksa, di mana para pekerjanya dipaksa bekerja tanpa diberi upah, bahkan sampai timbul korban jiwa. Adapun jalan raya pos tidak dibangun seluruhnya dari Anyer sampai Panarukan. Beberapa jalan telah dibangun, sehingga Daendels hanya memperlebar. Beberapa jalan yang diperlebar antara lain Jalan Anyer-Batavia dan Pekalongan-Surabaya. Barulah setelah Buitenzorg (Bogor), dibangun jalan menuju Cisarua dan seterusnya sampai Sumedang, yang masih terbentur kondisi alam, yaitu batu cadas.. Pembangunan resmi dimulai pada Mei 1808. Pembangunan raya ini juga sebagai awal mula modernisasi di Jawa. Pasalnya, Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan menjadi jalur ekonomi utama yang menghubungkan berbagai kota besar dan menjadi jalan utama di berbagai kota di Pulau Jawa. Baca juga: Penerapan Kerja Rodi Zaman Daendels Kontrversi pembangunan Jalan Raya Pos Pembangunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan sebenarnya bukanlah kerja paksa murni. Para pekerja dibayar oleh pemerintah, tetapi uang upah dari Daendels diberikan lewat penguasa lokal. Hal inilah yang menyebabkan uang upah tersebut tidak sampai kepada para pekerja pembangunan jalan, yang kemudian berdampak pada gugurnya banyak pekerja. Salah satu contohnya adalah di daerah Jawa Tengah, yang dilakukan sistem upah. Deandels memerintahkan para bupati menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu. Dari pekerja yang sudah disiapkan tersebut, masing-masing akan dibayar 10 sen ditambah beras dan jatah garam setiap minggu. Namun sayangnya, catatan pembayaran dari bupati ke para pekerja tidak pernah ada, baik dalam arsip sejarah Indonesia, Belanda, maupun Perancis. Pada 1808, dana 30.000 gulden yang disiapkan Daendels untuk membayar tenaga kerja habis, sehingga tidak ada dana lagi untuk pembangunan proyek jalan. Hal itulah yang kemudian menjadi penyebab adanya kerja paksa tanpa upah.
Nama: Satria Galang Pratama
BalasHapusKls:X.ATR
No:22
Nama: SULISWANTO
BalasHapusKls:X atr
No: 23
Nama: Muhammad Risky R
BalasHapusKls: X ATR
NO: 17
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNama:Reni Fibrianita
BalasHapusKelas:X Atr
No:19